Film Enak Tho Zamanku
Jakarta, Target News
Untuk kedua kalinya Akhlis Suryapati wartawan senior ini
terjun sebagai sutradara. Pertama Lari Dari Blora dan yang kedua Enak
Tho Zamanku. Film yang dibintang utamai Dolly Martin dan Ismi Melinda
bakal beredar 12 April 2018.
Dalam penayangan perdana khusus awak media, secara judul sudah
beken. Semua itu lantaran sudah menjadi viral, lantaran sebuah
ungkapan kalangan tertentu yang menganggap kalau rezim Orba lebih enak.
Namun ketika penulis menyaksikan film berdurasi 90 menit, yang
diproduseri QDemank Sonny Pudjisasono, via bendera Midessa Pictures, itu
memberikan banyak pesan moral namun dibungkus secara rapi.
Bahkan pesan yang dimunculkan lewat sejumlah
tokohnya dapat dikatakan terlalu lebay, dan berulang ulang. Akhlis Suryapati,
selaku penulis skenario dan sutradara seperti ingin berkotbah, tentang segala
hal, via sejumlah pelakonnya.
Dari permasalahan pencarian jati diri, ke Esaan Tuhan, sampai
ranah politik "dikuliahi" semua.
Ini kisah tentang pemuda Darmo Gandul, yang menolak
mewarisi kekayaan keluarga, untuk mengelola bisnis keluarga, yaitu hotel. Dan
lebih memilih pergi bertualang, untuk mencari jati dirinya, menjadi pokok utama
cerita.
Sebelum akhirnya entah karena sudah merasa menemukan
kediriannya, atau kepayahan menguber diri sendiri, toh ia memilih balik
kandang. Yang pada saat bersamaan, bisnis ayahnya sedang goyah. Lantaran
ayahnya sekarat dan di tubir jurang kematian, akibat hendak dibinasakan lawan
politiknya.
Sebagai anak soleh yang seenaknya sendiri, syahdan Darmo
Gandul dengan keketusan, dan gaya pencak ala pendekar itu, membongkar
konspirasi jahat yang hendak meluluh lantakkan bisnis keluarganya.
Drama komplikasi yang seperti yang diungkapkan, Akhlis,
diharapkan bisa mencerahkan masyarakat dalam menyikapi kekuasaan, tanpa
tendensi mengagungkan zaman tertentu, itulah yang disajikan di film ini.
Selaku produser Soewarno Pudjisasono menuturkan, film ini bisa
mendapatkan tanggal tayang dari emperium bisnis kelompok atau jaringan 21
saja, sudah sebuah keajaiban.
"Bayangkan, kami berkawan baik dengan sejumlah nama
penting pengelola 21 saja, masih sempat ditolak untuk ditayangkan film di
jaringan bioskop mereka, apalagi kalau yang bukan siapa-siapa," katanya
seusai preview film itu di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail Jakarta.
Alasan dari jaringan 21 yang sangat subyektif dari tim
kurator mereka, sempat membuat film yang dibintangi Ismi Melinda, Panji
Addiemas, Ratu Erina, Eko Xamba, dan Ananda George, Soultan Saladin, Dolly
Marten, Otig Pakis, Yurike Prastika, dan Riza Pahlawan, itu sempat
terkatung-katung.
Walau Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dari Lembaga Sensor
Film (LSF) telah dikantongi. Selaras dengan UU Perfilman, seharusnya sebuah
film yang telah mendapatkan STLS bisa ditayangkan oleh pemilik bioskop.
"Tapi film ini sempat ditolak oleh tim kurator
mereka. Berdasarkan peraturan legal formal dari mana kelompok 21 bisa mewakili
nilai rasa masyarakat, sehingga mengambil alih cita rasa publik. Bukankah tugas
itu sudah dilakukan LSF sebagaimana amanat UU. Biarkan masyarakat yang
menentukan sebuah film ditonton atau tidak, bukan mereka," imbuh Sonny
yang sempat melakukan perlawanan politik.
Akibat perlawan politiknya itu, Enak Tho Zamanku-Piye Kabare,
akhirnya mendapatkan 20 layar dari jaringan 21 untuk tayang di seluruh
Indonesia.
"Bayangkan, tadinya hanya mau dikasih 10 layar, saya nggak
mau, akhirnya mereka kasih 20 layar. Plus sejumlah layar dari jaringan bioskop
lainnya dari jaringan Cinemaxx, CGV Blitz dan bioskop mandiri. Jumlah total 52
layar," ujar Sonny.
Lantaran mangkel dan gerah dengan perlakuan jaringan 21 itupula, di
bawah bendera Peran Serta Masyarakat Perfilman dia hendak menggelar kongres di
Surabaya. Yang menurut Sonny, akan melibatkan semua pemangku kepentingan
perfilman di Indonesia, "Demi membenahi banyak yang keliru atas perlakuan
pada film nasional oleh pemilik bioskop, " katanya. (Nia Kurniati)
0 komentar:
Posting Komentar