Kearifan Lokal Kekuatan Film Indonesia .
Jakarta, Target News
Industri
Film Indonesia Sudah Maju
Walau perkembangan film Indonesia mengalami kemajuan pesat.
Namun anehnya sejumlah kalangan yang masih pesimis, kalau industri perfilman
Indonesia bisa bersaing dengan Hollywood. Saking pesimisnya ada peserta Dialog
Film yang digelar Pusat Pengembangan Film dan Forum Wartawan Hiburan (Forwan)
Indonesia di Hotel Santika Kamis (24/5) berani mengatakan untuk bisa bersaing
dengan perfilman negara Adidaya, itu membutuhkan waktu 50 tahun untuk mengejar
ketertinggalan dari negara lain, terutama Hollywood. Namun hal itu dibantah
oleh actor, sineas sekaligus tokoh perfilman Indonesia, Tino Saroengallo.
Pendapat itu
dikemukakan oleh Tino sebagai salah seorang pembicara di acara Dialog Perfilman
dengan tema ‘Kearifan Lokal Sebagai Kekuatan Film Indonesia di Tengah Penetrasi
Budaya Asing’.
“Saya berani mengatakan, itu pendapat yang tidak tepat. Perfilman kita sekarang sudah maju. Ada banyak film yang bisa sampai ke festival internasional dan laris di luar negeri,” tutur Tino.
“Saya berani mengatakan, itu pendapat yang tidak tepat. Perfilman kita sekarang sudah maju. Ada banyak film yang bisa sampai ke festival internasional dan laris di luar negeri,” tutur Tino.
Lanjutnya, “Kita tak kalah kreatif
dari Hollywood atau negara lain, begitu juga dalam hal SDM. Sayangnya kita
masih kalah jumlah SDM dan juga soal dana, beda jauh sama Hollywood yang memang
film sudah jadi industri besar bagi mereka. Dua hal itu harus terus kita
tingkatkan,” lanjut Tino Saroengallo.
Sementara soal kearifan lokal, menurut Tino, juga sudah banyak dimuat dalam film-film Indonesia produksi dulu maupun sekarang ini. Bahkan film nasional sekarang sudah banyak yang memakai bahasa daerah dalam produksi sebuah film, bukan sekedar selipan atau petikan saja. Menurut Tino, contohnya adalah film Turah yang seluruh dialognya mempergunakan bahasa Jawa Ngapak atau Tegal.
Film lainnya adalah Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak karya Mouly Surya yang baru saja diputar di Cannes Film Festival 2017. Film yang dibintangi Marsha Timothy ini mengangkat budaya kekerasan di Sumba Barat yang patut diacungi jempol dan mendapat banyak pujian.
“Jangankan masyarakat di luar negeri, masyarakat kita saja mungkin belum banyak yang tahu kalau budaya kekerasan ala parang sebagai senjata yang dibawa sehari-hari masih berlaku di Sumba Barat,” tutur Tino. Hal senada juga dikatakan oleh Maman Wijaya selaku Kepala Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Menurut Maman, nilai kearifan lokal di film Indonesia banyak yang memenangkan penghargaan di ajang internasional.
Termasuk film Ziarah yang mendapat penghargaan Best Screenplay & Special Jury Award - ASEAN International Film Festival & Awards (AIFFA).
Ada banyak tempat indah di Indonesia yang dapat digunakan sebagai lokasi syuting. Untuk hal ini peran pemerintah sangat diperlukan terutama dalam memfasilitasi berbagai perijinan sehingga produksi film bisa berjalan dengan lancar. Sedangkan produser film dokumenter Cerita Dari Tapal Batas, Ichwan Persada memaparkan bahwa dengan keragaman dan kekayaan budaya yang kita miliki tak harus (merasa) menjadi bangsa yang kalah.
Sementara soal kearifan lokal, menurut Tino, juga sudah banyak dimuat dalam film-film Indonesia produksi dulu maupun sekarang ini. Bahkan film nasional sekarang sudah banyak yang memakai bahasa daerah dalam produksi sebuah film, bukan sekedar selipan atau petikan saja. Menurut Tino, contohnya adalah film Turah yang seluruh dialognya mempergunakan bahasa Jawa Ngapak atau Tegal.
Film lainnya adalah Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak karya Mouly Surya yang baru saja diputar di Cannes Film Festival 2017. Film yang dibintangi Marsha Timothy ini mengangkat budaya kekerasan di Sumba Barat yang patut diacungi jempol dan mendapat banyak pujian.
“Jangankan masyarakat di luar negeri, masyarakat kita saja mungkin belum banyak yang tahu kalau budaya kekerasan ala parang sebagai senjata yang dibawa sehari-hari masih berlaku di Sumba Barat,” tutur Tino. Hal senada juga dikatakan oleh Maman Wijaya selaku Kepala Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Menurut Maman, nilai kearifan lokal di film Indonesia banyak yang memenangkan penghargaan di ajang internasional.
Termasuk film Ziarah yang mendapat penghargaan Best Screenplay & Special Jury Award - ASEAN International Film Festival & Awards (AIFFA).
Ada banyak tempat indah di Indonesia yang dapat digunakan sebagai lokasi syuting. Untuk hal ini peran pemerintah sangat diperlukan terutama dalam memfasilitasi berbagai perijinan sehingga produksi film bisa berjalan dengan lancar. Sedangkan produser film dokumenter Cerita Dari Tapal Batas, Ichwan Persada memaparkan bahwa dengan keragaman dan kekayaan budaya yang kita miliki tak harus (merasa) menjadi bangsa yang kalah.
Kemajuan
Film Untuk Kepentingan Masyarakat
Sebelumnya, Maman Wijaya, Kepala Pusat Pengembangan Film Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan, konsentrasi di Kemendikbud dalam program
turut memajukan perfilman di Indonesia, salah satunya dengan memberikan
dukungan kegiatan non komersial dalam bidang perekamanan. “Untuk itu,
kami akan memberikan dukungan pendanaan kepada komunitas film di daerah yang
membuat proses perekaman kebudayaan yang mengusung semangat kearifan lokal,”
katanya.
Dia menambahkan, semangat kearifan lokal harus didukung karena demi membentengi
dari serbuan nilai-nilai global, yang makin menepikan nilai-nilai keluhuran
kebudayaan asli Indonesia. “Seperti penetrasi kebudayaan barat via
film-filmnya. Yang telah masuk ke ranah publik paling privat kita. Untuk itu,
ada adagium yang berbunyi pertahanan terbaik adalah menyerang. Jadi,
satu-satunya cara adalah menginternasionalkan nilai-nilai kebudayaan kita,”
katanya.
Dalam
kerangka itu pula, Maman menjelaskan pesan Presiden Jokowi, yakni “Agar
senantiasa membuat sebuah kegiatan yang fokus pada pengembangan film nasional
serya berorientasi pada kepentingan masyarakat. Termasuk pelatihan yang mendatangkan
tenaga ahli dari luar negeri”.
Sejumlah kegiatan yang selama ini telah dilaksanakan oleh Kemendikbud, selain
focus group discussion, juga kegiatan lainnya, seperti penggandaan film KPK,
fasilitas Mobil Bioskop Keliling, kegiatan apresiasi, review, resensi termasuk
Lomba Kritik Film nasional, sebagaimana yang tercantum dalam RIPPN (Rencana
Induk Pengembangan Perfilman Nasional/Daerah.
Menyoal
Kearifan Lokal dalam perfilman nasional, dimana budaya dan bahasa menjadi ujung
tombaknya, menurut Budayawan Tino Saroenfallo, para pelaku industri pefilman
nasional masih membutuhkan pemahaman yang obyektif dan konprehensi atas potensi
kearifan lokal.
“Selain
itu, tantangan terberatnya adalah soal sikap dan kebijakan pemerintah. Apakah
sudah menganggap penting film sebagai alat tangkal penetrasi kebudayaan asing
atau masih saja dianggap sebagai media propaganda?” tandas Tino.
Merujuk
pada film ‘Jenderal Soedirman’ diproduksi tahun 2015 lalu, Tino menyebutkan
bahwa dimatanya itu adalah film propaganda. Sementara dari pihak swasta, sudah
sejak lama memproduksi fipm yang berbasis pada kearifan lokal, seperti bisa
dilihat dalam film karya Usmar Ismail.
“Sampai
saat ini masih ada aturan dari pemerintah yang .mencerminkan film sebagai alat
propaganda. Kalau alur ceritanya tidak sesuai dengan kebijalan pemerintah maka
film tersebut bisa dilarang peredarannya, bahkan sama sekali tak boleh
diproduksi,” ungkap Tino bersemangat.
Akhirnya Tino
Saroengallo mengingatkan agar pemerintah jangan sok tahu dan masuk ke dunia
industri film. Bahkan katanya, pemerintah tak perlu memberikan bantuan
keuangan, karena industri film telah memiliki investor yang siap mendanai karya
kreatif tersebut.
“Pemerintah cukup memfasilitasi perizinan, membantu koordinasi dengan
berbagai lembaga terkait agar produksi berjalan lancar serta melakukan sensor
yang obyektif agar bisa ditonton,” kata Tino. (Buyil)
0 komentar:
Posting Komentar