TWI Persembahkan Adiluhung Wayang
Orang Sriwedari
Jakarta, Target News
Menjaga
eksistensi kesenian tradisional, seperti wayang orang di tengah era
digital bukan perkara gampang. Karenanya butuh kerja keras dan cerdas,
agar masyarakat mau mengenal untuk kemudian mencintai budaya asli Indonesia
itu.
AdalahTeater Wayang Orang Indonesia (TWI) mempersembahkan
Pagelaran adiluhung Wayang orang Sriwedari. Pagelaran kali ini dalam
rangka terus mengupayakan agar wayang terus eksis dan keberadaannya.
Pergelaran Wayang Orang Sriwedari dari Solo dalam lakon 'Trisoro Tinayuh', yang
mengedepankan pesan moral tentang: 'Jatidiri', 'Kebijaksanaan' dan 'Keteguhan'.
Pementasan yang dihelat di Teater Kautaman, Museum Pewayangan,
TMII, mulai pukul 15.00-18.00 WIB, Minggu, 4 Maret 2018. Mampu
memukau penikmat wayang. Apalagi Wayang Orang Sriwedari semakin
menunjukkan kualitas pertunjukannyan. Karena eksistensi mereka
adalah eksistensi dunia perwayangan yang kelak akan menjadi digdaya Kebudayaan Indonesia.
Kinkin Sultanul Hakim, Kepala Dinas Kebudayaan Surakarta
yang mewakili Walikota Surakarta, FX. Hadi Rudyatmo. Mengatakan bahwa
kesenian perwayangan pada dasarnya adalah penggarapan penjelajahan pandangan
hidup dan sistem nilai yang lahir dan tumbuh ditengah-tengah masyarakat.
Hadir menyaksikan pertunjukan spektakuler, diantaranya
Budayawan Romo Mudji Sutrisno SJ. "Pementasan ini berhasil mengemas cerita
yang telah saya saksikan berkali-kali, menjadi lebih kekinian. Alurnya,
koreografinya, ekspresi pelakonnya dan juga gimmick dari punakawan, dikemas
singkat, padat tapi tetap menghibur tanpa mengubah pakem," puji Romo
Mudji, usai menyalami satu persatu seluruh pemain, langsung di atas panggung.
Romo Mudji pun berharap, pertunjukan serupa bisa
dipentaskan khusus untuk kalangan generasi muda, dengan kemasan yang lebih
menyentuh jiwa mereka.
Sementara itu, Agus Prasetyo S.Sn., sang sutradara,
mengakui bahwa pementasan lakon Trisoro Tinayuh ini, adalah yang kedua-kalinya.
Kali ini merupakan pengembangan dari berbagai cerita pakem pewayangan yang
sudah dikenal selama ini.
"Ini memang carangan (pengembangan,
red), tetapi kami kemas kembali, karena masih konstekstual dengan kondisi
Indonesia saat ini., dimana banyak pemimpin yang lupa diri ketika sudah
menjabat,” jelas Agus, yang berperan sebagai Prabu Kresna, disamping sebagai
sutradara.
Lakon Trisara atau Trisro ini, adalah kisah dimana
Arjuna memiliki tiga Pusaka Utama atau Trisara, yakni Pasopati, Pulanggeni, dan
Sarotama. Inilah yang menjadi kekuatan dalam diri Arjuna, yakni, Jatidiri,
Kebijaksanaan dan Keteguhan.
Namun ada masa Arjuna yang merasa telah mencapai
titik kemuliaannya menjadi lupa diri. Hal yang membuat Prabu Kondho Buwono,
mendendam kesumat dan kemudian berupaya dengan segala cara untuk menghancurkan
Kerajaan Ksatria Madukara.
Klimaks dalam lakon tersebut, adalah saat tiga pusaka milik
Arjuna raib. Arjuna marah, kemudian menyalahkan orang-orang disekelilingnya.
Ditambah dengan kehadiran Gondang Jagad dan Gondang Buwana yang terus mencari
Arjuna yang diakui sebagai ayah kandungnya.
Salah seorang penanggung jawab Teater Wayang
Indonesia, Eny Sulistyowati Spd, SE, MM., yang juga penari dalam Tarian Serimpi,
sebagai happening art pertunjukan, mengemukakan upayanya untuk menjaga kualitas
pertunjukan.
Menurutnya, selain didukung tim kreatif dan pemain
dari Kelompok Seni Wayang Orang Sriwedari, juga dilibatkan para seniman alumni
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Ada sekitar 150 seniman, dari mulai
tim kreatif, Dalang, Sutradara, aktor dan aktris panggung, Pengrawit (Pemusik),
Swarawati (penyanyi), dan pendukung lainnya.
Eny, Humas Sena Wangi, yang dalam lakon tersebut
berperan sebagai Dewi Sembadra, mengaku senang dan bersukur karena pementasan
wayang tersebut, mendapat dukungan dari pemerintah Kota Surakarta.
Lakon Trisara
Tinayuh merupakan lakon carangan dari berbagai cerita pakem pewayangan yang
sudah dikenal selama ini. Walau demikian lakon itu kontekstual dengan
keadaan saat ini ketika banyak pemimpin yang lupa diri ketika sudah menjabat.
"Apa yang kami
suguhkan dalam Trisara Tinayuh sebenarnya perlambang. Bukan sebagai nyata-nyata
pusaka hilang. Tiga pusaka itu kita lambangkan sebagai jati diri,
kebijaksanaan, dan keteguhan. Bahwa seorang pemimpin harus memegang sikap itu,”
ungkap produser Eny Sulistyowati yang malam itu berperan sebagai Dewi Sembadra.
“Mentang-mentang punya kelebihan, jadi punya sifat sombong. Ketika seorang
pemimpin kehilangan tiga sifat ini, dia akan menjadi seperti itu,” tegas
Eny.
Pada gelaran Trisara Tinayuh juga
tidak menggunakan banyak properti panggung layaknya pergelaran wayang orang.
Set panggung selama pertunjukan hampir tak ada perubahan berarti, bahkan
cenderung tetap. Hanya ada level peninggi yang ditata simetris. Dua sisi dibuat
agak rendah, lalu semakin meninggi ke arah tengah.
Hal menjadi menarik.
Pelepasan atribut properti itu menjadi salah satu yang menarik dari pentas ini.
Sebab penonton akan lebih fokus pada garap keaktoran dan tarian. Penonton
menjadi lebih leluasa menyimak segala keindahan dalam pentas itu. Mendengarkan
suara gamelan yang dipadu dengan dialog antarwayang.
Pada pergelaran kali ini, terdapat
beberapa adegan yang menarik. Memang hal itu tidak mengubah sikap panggung
pakem seperti sikap panggung dan gaya bicara para pandawa ataupun para dewi.
Namun ketika dialog yang merupakan pengembangan, yang ada ialah suasana yang
hidup dan meriah. Dialog didesain dengan sangat cair dan sangat intim dengan
memori penonton.
Seperti ketika Nawangwulan dan
Nawangsih mencuri pusaka Arjuna. Mereka menyamar menjadi Srikandi dan Larasati.
Ketika terpergok oleh yang asli. Justru adegan dan dialog itu menjadi hidup.
Memori tentang adu mulut ala masyarakat keseharian akan muncul dari dialog
mereka berempat. Mereka saling mengejek dan berbalas cerca.
Dialog itu menjadi sangat ringan
dan terasa dekat dengan keseharian. Jika sering ke pasar lalu menyaksikan orang
sedang berdebat, mirip seperti Srikandi dan Larasati yang tengah beradu cerca
dengan Nawangwulan dan Nawangsih. Ungkapan cercaan ala keseharian begitu lancar
meluncur dari lidah mereka. Imajinasi penonton akan dibawa masuk adu mulut ala
perempuan paruh baya yang saling berkukuh untuk mempertahankan
pendiriannya. Tata musik
dalam pentas ini layak untuk diberi apresiasi lebih. Dua penata karawitan yakni
Pujiono dan Nanang Dwi Purnama, sukses membawa gelaran itu layak dinikmati
bahkan jika seandainya harus berpentas dalam ruang gelap. Musik besutan mereka
sangat indah. Terkadang melenakan ketika dipadu dengan tembang yang sarat
pesan. Terkadang pula mengalun dan membawa penonton lebih masuk ke dialog para
pemain.
Namun
sesekali langsung mengentak kesadaran. Lalu mengajak dan menyeret penonton
untuk masuk ke suasana peperangan yang terjadi di atas panggung. Kembali ke
latar panggung Trisara Tinayuh, jika merah adalah berani, jika putih adalah
suci, berani harus didasari suci. Begitu pula, suci harus didampingi dengan
keberanian. Keduanya tidak saling menafikan, justru saling memperteguh.
Kesucian tanpa keberanian hanya menjadi angan-angan dan cita-cita. Keberanian
tanpa kesucian makin menambah soalan dan punya potensi daya rusak terhadap apa pun.
Begitulah usaha tangkap pesan dari pementasan Trisara Tinayuh yang penuh dengan
makna dan pesan simbolis. (Tebe)