Minggu, 28 Januari 2018

Dituding Korupsi Waktu Ketua DPRD Lembata F.Koda Terima

Dituding Korupsi Waktu Ketua DPRD Lembata F.Koda Terima

Lambata, Target News
      Reses akhir tahun DPRD Kabupaten Lembata, pada masa sudang ke tiga tahun 2017,dimanfaatkan anggota DPRD sebagai ajang curhat dan penyaluran aspirasi oleh masyarakat setempat.
      Seperti masyarakat desa Lamawara, memanfaatkan pertemuan dengan Ketua DPRD Lembata, Ferdi Koda, yang melakukan reses di sana, untuk menyampaikan aspirasi dan curhat soal nasip mereka pasca kena bencana gempa, pada Oktober 2017 silam.
        Reses yang diawali dengan koreksi soal komitmen tepat waktu  oleh seorang tokoh masyarakat itu, berlangsung tertib dan demokratis. Kami masyarakat diminta hadir tepat jam 8.00 pagi, tapi anggota dewannya datang jam 11.oo. Ini berarti kita sudah korupsi waktu 3 jam, apalagi musim tanam begini, waktu itu sangat berharga bagi kami masyarakat petani. Mental manusia yang begini harus dibenahi kalau kita mau berkembang, kritik Simon Langobelen, seorang tokoh masyarakat Desa Lamawara.
    “Kritikan ini saya terima dengan hati terbuka, dan akan menjadi perhatian untuk ke depannya,” jawab Ferdi Koda, diplomatis.
       Antonius  Kidiaman Bahyr, tokoh pemuda dan Ketua Karang Taruna, mengungkapkan kekecewaannya terhadap lambatnya Pemerintah Kabupaten Lembata menindak lanjuti nasib korban gempa di Desa Lamawara.
     Kami sangat kecewa dengan  sikap pemerintah Kabupaten Lembata, yang begitu lambat mengambil sikap untuk membantu masyarakat Lamawara, yang menjadi korban hempasan gempa pada Oktober 2017, kemarin. Diantara semua desa yang diterjang gempa, Lamawaralah yang paling banyak menjadi korban, tutur Anton.
    Sebanyak 40 KK, sampai hari ini, masih menumpang di rumah keluarga, atau ada yang terpaksa memanfaatkan dapur sebagai rumah tinggal, karena rumah mereka rusak parah karena gempa. “Bahkan ada yang depresi dan mengalami gangguan kesehatan, hingga saat ini,” tegas Anton Bahyr.
Lanjutnya, tapi sikap pemerintah Lembata, kelihatannya cuek bebek alias masa bodoh, gerutu laki laki ramping ini.
       Menanggapi keluhan itu, Ketua DPRD Lembata, menjawab soal bantuan untuk para korban gempa, “Pemerintah Lembata sudah menganggarkan dana bantuan  Rp500 Miliar, namun dalam pembahasan, kami dari DPRD menambahkan lagi Rp 300 Miliar, sehingga akan tersalur dana bantuan senumlah Rp 800 Miliar, pada tahun anggaran 2018 nanti,” beber Ferdi Koda.
       Sius Igol, tokoh masyarakat lain, mengeluhkan soal kesenjangan harga antara komoditas masyarakat  dan barang di pasar, serta minimnya infrastruktur penunjang roda perekonomian, seperti dermaga, bandara, serta bantuan untuk kelompok produktif di desa desa.
     “Bagaimana masyarakat bisa sejahtera, kalau harga komoditas masyarakat, terjun bebas, berbanding harga barang di pasar yang kian melangit,” tegas Sius.
     Soal perbedaan harga, kami sudah beberapa kali memanggil dinas terkait untuk meminta klarifikasi, namun pengawasan di lapangan masih belum optimal, sehingga permainan harga masih melenggang bebas.Untuk pembangunan infrastruktur penunjang, semua sudah dalam perencanaan dan sudah dianggarkan, jadi pelan tapi pasti, semua akan terbangun. “Olehnya harap masyarakat bersabar dan tetap proaktif dalam semua program pembangunan sesuai tupoksi masing masing, apalagi APBD Lembata ini kecil,” urai Ferdi bijak.
     Seorang lagi warga lain, berininsial TVB, mengkritisi corak pembangunan jalan di Lembata yang sepotong-sepotong dan kualitas proyek yang terkesan sekedar menghabisakan uang rakyat.
      Kami melihat corak pembangunan  infrstruktur, trutama jalan, terasa lucu tapi mengagumkan. Jalan yang berlubang bagai lubang neraka, menganga menanti nyawa, terbentang 100 km, tapi yang dibangun 1 km, lalu di biarkan berlubang  lagi sepanjang 98km, kemudian di lapen lagi 1 km, sejingga genap 100 km. Kualitas proyeknya juga luar biasa, 2 minggu kemudian, hancur berantakan, tegas warga Lamawara yang cukup vokal ini.
Lebih lanjut, dia mengatakan, kualitas pelayanan di RSUD Lewoleba juga sangat memprihatinkan. Ketika pasien merintih kesakitan, tenaga medisnya malah asyik internetan. Tapi pasien tetap terhibur, karena di ruang pasien senantiasa terdengar nyanyian nyamuk yang konser 24 jam, serta langit langit bilik pasien dihiasi bentangan sarang nyamuk, yang bergantungan.
     Selain itu, kata TVB, meski mengantongi Askes, tapi setelah didiagnosa, pasien hanya dihadiahi sepucuk resep dokter, sebagai bekal membeli obat di apotek luar. Semua pasien yang berobat  di Rumah sakit kebangaan masyarakat Lembata ini, punya keluhan dan pengalaman yang sama.
“Apakah tidak dianggarkan dana pengadaan obat, atau bagaimana adanya, tapi kemana dananya?” kritik si TVB.
   Masalah pembangunan infrastruktur jalan yang agak lucu, kelihatannya, karena salah dari tahap perencanaan, dan pengawasan yang lemah oleh iƱstansi terkait/berkenaan. Polemik pelayanan RSUD, sebenarnya dana pengadaan obat sangat besar, tapi selalu begitu. “Kami sudah beberapa kali meminta klarifikasi dari pihak rumah sakit, tapi dokter yang ditempatkan di sana itu, statusnya sebagai pekerja, bukan manager atau pimpinan, sehingga dia tidak mampu mengendalikan managemen Rumah Sakit seara profesional,” jawab Ketua DPRD, Ferdi Koda,diakhir dialog reses.(Vincent)


0 komentar:

Posting Komentar