Dituding
Korupsi Waktu Ketua DPRD Lembata F.Koda Terima
Lambata, Target News
Reses
akhir tahun DPRD Kabupaten Lembata, pada masa sudang ke tiga tahun
2017,dimanfaatkan anggota DPRD sebagai ajang curhat dan penyaluran aspirasi
oleh masyarakat setempat.
Seperti
masyarakat desa Lamawara, memanfaatkan pertemuan dengan Ketua DPRD Lembata, Ferdi
Koda, yang melakukan reses di sana, untuk menyampaikan aspirasi dan curhat soal
nasip mereka pasca kena bencana gempa, pada Oktober 2017 silam.
Reses
yang diawali dengan koreksi soal komitmen tepat waktu oleh seorang tokoh masyarakat itu, berlangsung
tertib dan demokratis. Kami masyarakat diminta hadir tepat jam 8.00 pagi, tapi
anggota dewannya datang jam 11.oo. Ini berarti kita sudah korupsi waktu 3 jam, apalagi
musim tanam begini, waktu itu sangat berharga bagi kami masyarakat petani. Mental
manusia yang begini harus dibenahi kalau kita mau berkembang, kritik Simon
Langobelen, seorang tokoh masyarakat Desa Lamawara.
“Kritikan
ini saya terima dengan hati terbuka, dan akan menjadi perhatian untuk ke
depannya,” jawab Ferdi Koda, diplomatis.
Antonius Kidiaman Bahyr, tokoh
pemuda dan Ketua Karang Taruna, mengungkapkan kekecewaannya terhadap lambatnya
Pemerintah Kabupaten Lembata menindak lanjuti nasib korban gempa di Desa
Lamawara.
Kami
sangat kecewa dengan sikap pemerintah
Kabupaten Lembata, yang begitu lambat mengambil sikap untuk membantu masyarakat
Lamawara, yang menjadi korban hempasan gempa pada Oktober 2017, kemarin. Diantara
semua desa yang diterjang gempa, Lamawaralah yang paling banyak menjadi korban,
tutur Anton.
Sebanyak
40 KK, sampai hari ini, masih menumpang di rumah keluarga, atau ada yang
terpaksa memanfaatkan dapur sebagai rumah tinggal, karena rumah mereka rusak
parah karena gempa. “Bahkan ada yang depresi dan mengalami gangguan kesehatan, hingga
saat ini,” tegas Anton Bahyr.
Lanjutnya, tapi sikap pemerintah Lembata, kelihatannya
cuek bebek alias masa bodoh, gerutu laki laki ramping ini.
Menanggapi keluhan itu, Ketua DPRD Lembata, menjawab soal bantuan untuk
para korban gempa, “Pemerintah Lembata sudah menganggarkan dana bantuan Rp500 Miliar, namun dalam pembahasan, kami
dari DPRD menambahkan lagi Rp 300 Miliar, sehingga akan tersalur dana bantuan
senumlah Rp 800 Miliar, pada tahun anggaran 2018 nanti,” beber Ferdi Koda.
Sius
Igol, tokoh masyarakat lain, mengeluhkan soal kesenjangan harga antara
komoditas masyarakat dan barang di
pasar, serta minimnya infrastruktur penunjang roda perekonomian, seperti
dermaga, bandara, serta bantuan untuk kelompok produktif di desa desa.
“Bagaimana
masyarakat bisa sejahtera, kalau harga komoditas masyarakat, terjun bebas, berbanding
harga barang di pasar yang kian melangit,” tegas Sius.
Soal
perbedaan harga, kami sudah beberapa kali memanggil dinas terkait untuk meminta
klarifikasi, namun pengawasan di lapangan masih belum optimal, sehingga
permainan harga masih melenggang bebas.Untuk pembangunan infrastruktur
penunjang, semua sudah dalam perencanaan dan sudah dianggarkan, jadi pelan tapi
pasti, semua akan terbangun. “Olehnya harap masyarakat bersabar dan tetap
proaktif dalam semua program pembangunan sesuai tupoksi masing masing, apalagi
APBD Lembata ini kecil,” urai Ferdi bijak.
Seorang
lagi warga lain, berininsial TVB, mengkritisi corak pembangunan jalan di
Lembata yang sepotong-sepotong dan kualitas proyek yang terkesan sekedar
menghabisakan uang rakyat.
Kami
melihat corak pembangunan infrstruktur, trutama
jalan, terasa lucu tapi mengagumkan. Jalan yang berlubang bagai lubang neraka, menganga
menanti nyawa, terbentang 100 km, tapi yang dibangun 1 km, lalu di biarkan
berlubang lagi sepanjang 98km, kemudian
di lapen lagi 1 km, sejingga genap 100 km. Kualitas proyeknya juga luar biasa, 2
minggu kemudian, hancur berantakan, tegas warga Lamawara yang cukup vokal ini.
Lebih lanjut, dia mengatakan, kualitas pelayanan di
RSUD Lewoleba juga sangat memprihatinkan. Ketika pasien merintih kesakitan, tenaga
medisnya malah asyik internetan. Tapi pasien tetap terhibur, karena di ruang
pasien senantiasa terdengar nyanyian nyamuk yang konser 24 jam, serta langit
langit bilik pasien dihiasi bentangan sarang nyamuk, yang bergantungan.
Selain
itu, kata TVB, meski mengantongi Askes, tapi setelah didiagnosa, pasien hanya
dihadiahi sepucuk resep dokter, sebagai bekal membeli obat di apotek luar.
Semua pasien yang berobat di Rumah sakit
kebangaan masyarakat Lembata ini, punya keluhan dan pengalaman yang sama.
“Apakah tidak dianggarkan dana pengadaan obat, atau bagaimana
adanya, tapi kemana dananya?” kritik si TVB.
Masalah
pembangunan infrastruktur jalan yang agak lucu, kelihatannya, karena salah dari
tahap perencanaan, dan pengawasan yang lemah oleh iñstansi terkait/berkenaan. Polemik
pelayanan RSUD, sebenarnya dana pengadaan obat sangat besar, tapi selalu
begitu. “Kami sudah beberapa kali meminta klarifikasi dari pihak rumah sakit, tapi
dokter yang ditempatkan di sana itu, statusnya sebagai pekerja, bukan manager
atau pimpinan, sehingga dia tidak mampu mengendalikan managemen Rumah Sakit
seara profesional,” jawab Ketua DPRD, Ferdi Koda,diakhir dialog reses.(Vincent)